Ketika ujian akan tiba, tiap anak mempersiapkan diri dengan caranya masing-masing. Ada yang belajar giat, rajin berdoa, membuat catatan kecil pada kertas yang dapat dilipat kecil, mencari soal, dan ada yang tenang-tenang saja. Bahkan ada yang makin aktif nonton film dan keluyuran dengan alasan hari tenang untuk refreshing. Maklum, tiap orang punya perbedaan kepribadian. Atau juga sudah terkena interfensi asing dari lingkungan di mana ia dibesarkan. Yang jelas, mereka sama-sama pelajar yang akan menghadapi ujian.
Pada umumnya, ujian semester pertama menjadi lahan untuk memcoba-coba. Siswa yang pernah mengembangkan hobi menyontek sebelum masuk ke lembaga pendidikan ini akan mencoba menguji kedisiplinan para pengawas dan kekuatan sanksi yang akan diaplikasikan. Mereka yang tidak biasa menyontek tetap lugu dan biasa-biasa saja. Sedangkan bagi yang pernah menyontek, walaupun membawa catatan kecil di kertas kecil, ia belum berani membukanya. Namun demikian, fenomena yang mengarah terlaksananya perbuatan itu sesekali muncul. Misalnya, menggeliat, menoleh ke kanan ke kiri, suara 'dehem', mengambil alat tulis yang jatuh, meminjam tip-ex, senyum, dsb.
Motivasi yang membuat anak itu nyontek antara lain:
1. Kekhawatiran tidak bisa mengerjakan
Baik pintar atau bodoh, baik belajar apalagi tidak, anak yang pernah menikmati hasil nyontek, akan cenderung melakukannya setiap ujian. Padahal sebagaimana keterangan di atas, jika ide nyontek ini muncul, pikiran jadi tumpul. Ini karena lemahnya self-confident (rasa percaya diri) pada diri siswa.
2. Kekhawatiran tidak lulus
Motivasi ini biasanya sudah diawali pengalaman pahit. Misalnya siswa itu sendiri atau banyak siswa lain pernah gagal dalam menempuh ujian materi ini. Di samping itu, mungkin ada pihak-pihak lain yang menekannya sehingga ia mencari jalan pintas.
3. Ikut-ikutan
Kalau motivasi pertama dan kedua terjadi sebelum ujian, motivasi ini terjadi saat ujian berlangsung. Ketika seorang siswa yang lugu itu menghadapi soal yang sulit, sementara ruangan ujian terasa gaduh karena banyaknya jalur-jalur komunikasi ilegal antara peserta ujian, didukung pula oleh ketidak-pedulian sang pengawas, maka anak tersebut coba-coba bertanya pada kawannya. Pengalaman ini jika dilihat pengawas, akan dirasakan sebagai dosa yang seolah-olah tidak terampuni. Tetapi jika tidak ada pihak lain yang tampak mencurigai, maka ia sudah merasa (satu langkah) terlibat dalam gang ilegal itu, walaupun masih diragukan. Karena itulah anak yang suka bertanya kepada yang lain ketika menghadapi kesulitan, sementara yang lain diam saja ketika mengetahui jawaban.
Lalu, apa efeknya nyontek? Efek nyontek yang tampak fatal adalah ketika perbuatan itu diketahui oleh pengawas plus diterapkan sanksi nyata. Sanksi-sanksi kecurangan antara lain pelakunya harus segera meninggalkan ruangan dan atau disidang oleh panitia ujian, pekerjaannya tidak dikoreksi, disuruh mengulang. Ada yang bilang sanksi tersebut tidak masalah, tetapi rasa malunya itu minta ampun. Walaupun demikian, resiko ini belum seberapa, apalagi kalau perbuatan itu belum pernah menjadi sanksi nyata, maka akan terasa semakin manis. Akibat yang lebih berat akan menimpa setelah yang bersangkutan selesai, lalu berusaha untuk meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.
Yang jelas, nyontek bagi mereka yang terlanjur berbuat dan belum pernah ketahuan, sebaiknya segeralah bertaubat untuk tidak mengulanginya lagi sebelum hukum karma benar-benar muncul. Rasa stres dalam perjuangan menempuh cita-cita itu akan berubah menjadi suatu kenikmatan dan kepuasan. Kondisi-kondisi yang menyulitkan dan menegangkan itu sebenarnya merupakan arena menempa diri untuk bisa menjadi manusia yang tahan banting. Mereka yang merasa sombong dan angkuh adalah mereka yang sebenarnya berpura-pura menutupi kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
0 Comments